I Kekayaan Alam dan Energi Indonesia serta Kesalahan Model Pengelolaannya. Indonesia merupakan negara yang besar. Luas wilayah teritorial Indonesia sekitar 5 juta km2. Sekitar 1,9 juta km2 berupa daratan sedangkan 3,1 juta km2 berupa lautan. Jika ditambah dengan zona ekonomi eksklusif, luas wilayah Indonesia menjadi lebih dari 7,5 juta km2
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Indonesia adalah negara yang wilayahnya sebagian besar adalah wilayah laut. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, total luas wilayah Indonesia sekitar 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif dan Hanya sekitar 2,01 juta km2 yang berupa daratan. Hal tersebut menjadikan Indonesia memiliki keungulan dalam bidang sumber daya kelautan yang didalmnya terdapat berbagai keanekaragamaan sumber daya yang besar yang menjadi Kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dapat dijadikan sebagai modal dasar pembangunan nasional. Bila dikelompokkan secara spesifik, maka Indonesia memiliki empat sumber daya kelautan yaitu Sumber daya alam terbarukan reneable resources; Yang antara lain meliputi sumber daya perikanan, hutan mangrove, terumbu karang, rumput laut, padang lamun, dan senyawa-senyawa bioaktifbioaktif substances dan natural products sebagaibahan baku industri farmasi, konsmetik, makanandan minuman, dan industri lainnya; sumber daya alam tak terbarukan non reneable resources; Antara lain minyak dan gas bumi, timah, bauksit, bijih besi, mangan, fosfor dan bahan tambang serta mineral lainnya; Energi Kelautan Termasuk kedalam kategori energi kelautan ini adalah energi gelombang, pasang surut, arus laut, dan OTEC Ocean Thermal Energy Conversion; Jasa-jasa lingkungan Kelautan; Berupa fungsi laut sebagai media transportasi dan komunikasi, keindahan alam untuk rekresi dan pariwisata, penelitian dan pendidikan, pertahanan dan keamanan, pengatur iklim climate relugulator, dan system penunjang kehidupan life-supporting systems. Dalam menjamin kepastian hukum dalam pengelolaan sumber daya kelautan agar dapat dikelelola dengan baik dan benar, Indonesia membentuk kerangka hukum yaitu berupa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang kelautan yang diubah dengan Undang-udang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pembentukan kerangka hukum ini juga sebagai upaya melindungi dan melestarikan sumber daya kekayaan laut. Seuasi dengan amanat Undang-undang yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam yang didalamnya termasuk sumber daya kelautan yang ditujukan sebesar-besarnya untuk memberikan kesejahteraan masyarakat. Perlu disadari pontesinya dan kekayaan tersebut dapat mencapai keberhasilan pembagunan untuk kemajuan negara dan kesejahteraan masyarakat apabila dikelola dengan seoptimal mungkin. Karena walaupun tersedia kekayaan alam yang banyak apabila pengelolaanya tidak dilakukan dengan optimal maka hal tersebut tidak memberikan hasil yang baik. Pengelolaan ruang laut harus dikelola dengan perencanaan, pemanfaatan, pengedalian dan pengawasan yang tepat dan Ruang Laut untuk menghasilkan rencana Tata Ruang Laut dan/atau rencana zonasi untuk menghasilkan Struktur Ruang Laut yaitu susunan pusat-pusat pertumbuhan kelautan dan sistim jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan social ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional dan Pola Ruang Laut menetukan distribusi peruntukan ruang laut dalam wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Pemanfaatan kelautan adalah sebagai upaya dalam peningkatan nilai ekonomi sumber daya kelautan. Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang No 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan Penyelenggaraan Kelautan dilaksanakan berdasarkan asas keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan. Dalam pengeloaan sumber daya kelautan tentunya perlu pengendalian dan pengawasan agar dalam pengelolaannya optimal yang memperhatikan asas keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Serta tidak melakukan eksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan pribdai dan golongan. Namun pada prakteknya pengeloaan sumber daya laut masih belum optimal sehingga laut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kekayaan alam yang ada didalamnya tidak dapat memberikan manfaat yang sebagai harusnya dalam mensejahteraankan masayarakat. Pengeloaan kelautan yang dilakukan mengabaikan mengabaikan kearifan lokal masyarakat, sehingga lingkungan yang bersih menjadi tercemar akibat pengabaian tersebut Hal tersebut ditunjukkan dengan masih banyaknya penyimpangan dilakukan dalam pengambilan dan pemanfaaan sumber daya kelautan tersebut. Pemanfaatan kelautan masih didasarkan pada kepentingan pribadi dan golongan yang mengeksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan asas keberlanjutan dan tanpa ada upaya melestarikan khusunya badan-badan usaha milik negara maupun swasta. Hal tersebut membuat sumber daya laut habis dan merusak perkembangbiakan sumber daya laut. Berbagai kegiatan pemanfaatan yang dilakukan dalam pengelolaan sumber daya laut tanpa memperhatikan ketentuan Amdal sehingga merusak dan mencemar laut. Peraturan perundang-undangan belum sepenuhnya memberikan perlindungan dalam pengelolaan kelautan. Pembangunan yang dilakuka lebih berorientasikan nilai materialistik hanya membangun fisik yang justru memberikan keuntungan bagi penanam modal, bukan masyarakat itu sendiri. 1 2 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Saatini, pengembangan potensi kekayaan laut Indonesia belum dilakukan secara maksimal, terbukti dengan minimnya industri lokal yang memanfaatkan sumber daya laut. Indonesia saat ini baru berperan sebagai pemasok bahan baku dalam industri-industri berbasis sumber daya laut di negara-negara maju (di antaranya US, Jepang, Jerman, dan Inggris).
Darilaut – Hasil riset potensi berbasis kekayaan laut Indonesia oleh industri lokal masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini terbukti masih minim industri lokal yang memanfaatkan sumber daya saat ini baru berperan sebagai pemasok bahan baku dalam industri-industri berbasis sumber daya laut di negara-negara maju. Seperti di Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan baku industri yang dimakasud antara lain rumput laut, teripang, kuda laut, dan beberapa biota komersial Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Yan Riyanto, mengatakan sinergi lembaga riset dengan industri, baik industri besar, kecil, dan menengah belum yang menurutnya menjadi salah satu penyebab hasil riset dalam negeri kurang dimanfaatkan.“Oleh karena itu, ke depan LIPI akan terus memperbaiki ekosistem riset dan inovasi, mengundang industri melakukan riset di kawasan sains dan teknologi, membuka akses ke berbagai lab dan instrumen di LIPI, agar terbangun sinergi dengan dunia industry,“ ungkap Yan. Untuk itu, bioprospeksi laut mendorong berkembangnya industri berbasis inovasi produk hasil laut. Bioprospeksi meliputi kegiatan eksplorasi, pengungkapan potensi, dan pemanfaatan sumber daya laut yang mendapatkan sumber-sumber senyawa baru seperti senyawa kimia, gen, organisme, dan produk alami senyawa dan produk turunannya, memiliki nilai ilmiah dan berpotensi dikomersialisasikan. Antara lain menjadi produk pangan dan obat kesehatan tanpa mengesampingkan pelestarian keanekaragaman upaya harmonisasi dan sinergitas litbangjirap iptek dengan industri, Pusat Unggulan IPTEK PUI Bioprospeksi Laut LIPI mengadakan webinar nasional secara virtual dengan tema “Pengembangan Produk Pangan dan Kesehatan Berbasis Kelautan” Kamis 3/6.Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Puspita Lisdiyanti mengatakan hasil riset terkait pengembangan produk pangan dan kesehatan berbasis kelautan telah dirancang sesuai yang dibutuhkan oleh industri dan UMKM. Komunikasi dan kolaborasi diharapkan terus berlangsung, sehingga terjadi ekosistem yang sinergi dan saling Koordinator PUI Bioprospeksi Laut, Linda Sukmarini, dengan adanya sinergi antara litbang dengan masyarakat pengguna dalam hal ini industri dan UMKM, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor produk dimanfaatkannya teknologi hasil penelitian dari bangsa sendiri, khususnya untuk produk-produk berbasis kelautan hasil bioprospeksi, menjadi target lanjutan dari riset bioprospeksi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian-LIPI Ocky Karna Radjasa mengatakan banyak potensi yang disebut dengan untapped marine biodiversity belum optimal yang dikaitkan dengan keunikan habitat laut seperti suhu tinggi dan rendah, tekanan tinggi, dan tingkat keasaman yang tinggi baik pada daerah pesisir hingga lingkungan laut dalam yang ekstrim.BerandaRadar Kotawaringin Pengelolaan Perikanan Laut Belum Maksimal. Pengelolaan Perikanan Laut Belum Maksimal. Admin. Sel, 23 Maret 2021 Ming, 28 Maret 2021 31 views. Bagikan ini: Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru) karena pengelolaan laut bukanlah wewenang kita lagi," ujarnya. MONITOR, Jakarta – Pemerintah dan DPR tengah menggodok dan membahas Rancangan Undang-Undang RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Perubahan UU Landas Kontinen Indonesia didasarkan atas dasar hukum penyusunan UU Nomor 1 Tahun 1973 yang masih menggunakan ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1958, sedangkan rezim hukum laut internasional saat ini mengacu pada UNCLOS 1982. Terkait dengan hal tersebut, Forum Kajian Konstitusi dan Pemerhati Kebijakan Publik Fokus Policy, Agung Ariwibowo mengatakan hingga saat ini, pembasahan terkait landas kontinen sendiri lebih banyak berada diruang-ruang diskusi serta hanya pada tataran wacana umum yang menyangkut batas-batas wilayah laut nasional. “Pembentukan Pansus RUU Landas Kontinen sebagai upaya membangun gerbang kedaulatan laut nusantara. Jika itu yang menjadi tujuannya, Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP akan menjadi Leader Opinion dalam mengawal pelaksanaan aturan terkait Landas Kontinen, karena terkait dengan Tugas Pokok dan Fungsi Tupoksi sektor Kelautan Nasional,” kata Agung melalu keterangan tertulisnya, Jum’at 28/5/2021. Namun, lanjut Agung yang akan menjadi persoalan di lapangan, sejauh mana kesiapan KKP, sebagai ujung tombak Pemerintah dalam mengawal pelaksanaan UU Landas Kontinen yang baru, jika disahkan oleh DPR Advertisement - “Persoalannya ada banyak catatan yang selama ini dapat menjadi bahan evaluasi bersama terkait dengan strategi pengelolaan, pengawasan, penjagaan hingga eksplorasi kekayaan laut nasional,” ungkap Agung. Menurut Agung, mengutip Kementerian Perikanan dan Kelautan KKP RI, berdasarkan Laporan Kinerja KKP 2018, luas perairan laut Indonesia juta kilometer persegi. Terdiri dari luas laut teritorial 0,3 juta kilometer persegi, luas perairan kepulauan 2,95 juta kilometer persegi, dan luas Zona Ekonomi Eksklusif ZEE 2,55 juta kilometer persegi. “Dalam hal ekplorasi kekayaan laut, ada begitu banyak potensi laut Indonsia yang sampai saat ini masih belum tuntas dikelola dengan baik, sebagai contoh hasil perikanan tangkap. Salah satu potensi laut Indonesia yang sangat besar dan belum dikelola secara baik adalah Ikan Tuna,” terangnya. Agung menuturkan potensi Tuna Nasional dicatat hingga 1,2 juta ton pertahun 2018. Ikan Tuna yang melewati laut Indonesia berdasarkan data mencapai bobot 80kg. “Selama ini, dihitung sejak era Presiden Soeharto, bisnis kelola perikanan tuna dan ikan tangkap lebih banyak diserahkan kepada pihak swasta dan selebihnya dikelola melalui kerjasama dengan pihak asing,” katanya. Agung menambahkan jika dihitung secara matematis, 1,2 juta ton tuna atau saat ini 16% kebutuhan dunia dipasok oleh Indonesia data KKP 2018. Potensi ini jika di kelola maksimal dikalikan harga jual tuna pasaran di Asia, Eropa dikisaran harga 500juta per ton. “Maka nilai ke-ekonomian dari satu kekayaan laut kita Tuna dapat meningkatkan APBN, membiayai operasional kapal-kapal patroli Angkatan Laut menjaga wilayah laut nasional hingga meningkatkan dana pembangunan daerah yang menjadi penghasil tuna,” jelasnya. “Yang masih jadi perhatian kita, Strategi jitu Kementerian Kelautan sebagai Leading Sector pengelola wilayah laut nasional masih belum memiliki capaian-capaian memuaskan. Wilayah Laut, terdiri dari dua pertiga luas wilayah Indonesia. Tetapi pengelolaan laut nasional sejak Indonesia merdeka masih belum berjalan maksimal. Bahkan, kekayaan laut kita banyak dicuri oleh pihak asing,” ujarnya. “Kita butuh strategi baru yang jauh lebih jitu guna menyelamatkan serta memanfaatkan kekayaan laut Indonesia. Selama ini, UU No. 1 Tahun 1973, oleh sebagian pihak dirasa cukup menjadi payung hukum melindungi kawasan laut Indonesia, namun implementasi dari aturannya yang kurang berjalan baik. Jangan sampai Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya sibuk mengeluarkan izin. Harus ada semangat memperbaiki kinerja Kementerian,” tandas Agung. Bagi Agung, revisi UU Landas Kontinen, jangan hanya bicara soal kedaulatan negara di laut, tetapi juga perlu memikirkan langkah-langkah strategis terkait pengelolaan kekayaan laut Indonesia yang sangat besar. “Tanpa dikelola dengan baik, laut kita dengan dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia marine mega-biodiversity menurut Food and Agricultural Organization FAO 2009, hanya akan menjadi surga bagi para penjarah. Inilah Pekerjaan Besar’ Kementerian Kelautan yang belum optimal dijalankan,” pungkasnya. - Advertisement -
Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman RI 2014-2015, Indroyono Soesilo memaparkan bahwa laut tanpa ilmu pengetahuan dan teknologi hanya merupakan hamparan air berwarna biru. Seluas-luasnya kepulauan dan hamparan laut di Indonesia, tidak akan menyumbang sesuatu bagi negara maupun dunia jika tidak ada yang memahami pengelolaan lautnya.
memiliki sumber daya alam yang melimpah di sektor kelautan dan kemaritiman. Dengan luas lautan sekitar 62,9 % dari seluruh wilayah Indonesia, laut kita menyimpan 37% spesies sumber daya hayati dunia, 17,75% terumbu karang dunia, 30% hutan bakau, dan padang lamun. Laut Indonesia juga menyimpan sejumlah energi terbarukan seperti panas air laut, gelombang laut, arus laut, serta sumber daya energi tidak terbarukan seperti minyak dan gas bumi. Diperkirakan, potensi ini bisa mencapai US$ miliar atau Rp19,6 triliun per tahun KKP, 2020. Dengan potensi kekayaan laut seperti itu, sektor kelautan dan kemaritiman kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, seharusnya bisa menjadi pendorong perekonomian dan menjaga ketahanan pangan secara nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. “Namun sayangnya, potensi tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Hal ini dapat kita lihat dari kontribusi sektor kelautan dan perikanan yang baru menyumbang sekitar 3,7% terhadap Produk Domestik Bruto,” kata Pontjo pada FGD bertema Penguasaan dan Pengembangan Teknologi dalam Rangka Penguatan Sektor Kelautan dan Kemaritiman, Jumat 27/11/2020. Angka tersebut masih dikatagorikan rendah jika dibandingkan dengan negara lain yang memiliki laut lebih kecil seperti Jepang, Korea Selatan, maupun Vietnam yang memiliki kontribuasi sektor kelautan antara 48% sampai dengan 57% terhadap GDP. Mengapa sektor kelautan dan kemaritiman belum begitu berkembang padahal pemerintah telah mencanangkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan menempatkan lautan sebagai masa depan bangsa? Indonesia juga sudah menerapkan pengembangan ekonomi kelautan yang berkelanjutan Sustainable Ocean Economy dengan konsep ekonomi biru blue economy, dalam mengelola sumber daya kelautan dan kemaritiman untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dengan tetap menjamin keberlanjutannya dan kelestarian lingkungan. Menurut Pontjo, belum optimalnya pengelolaan laut kita dan belum berkembangnya ekonomi kelautan yang berkelanjutan antara lain disebabkan pertama kendala kultural yang tercermin dari rendahnya perhatian masyarakat terhadap dunia kelautan/kemaritiman. Sebagian besar masyarakat Indonesia hingga kini masih kuat terbelenggu pada budaya agraris yang berorientasi daratan. Kedua, pembangunan kelautan kurang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi Iptek. Dan ketiga, tidak menerapkan pendekatan supply chain system secara terpadu, kurang inklusif dan tidak ramah lingkungan. “Penyebab lain yang cukup mendasar mengapa ekonomi kelautan belum berkembang dengan baik, yaitu masih kecilnya jumlah pelaku usaha di sektor ini. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa dunia usaha tidak banyak yang tertarik untuk ikut mengembangkan ekonomi kelautan?” lanjut Pontjo. Padahal, banyak bidang usaha atau industri berbasis kelautan/kemaritiman yang berpotensi untuk dapat berkembang dengan baik, seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, Industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, parawisata bahari, angkutan laut, jasa perdagangan, industri maritim, bangunan kelautan konstruksi dan rekayasa, dan lain-lainnya. Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan kemaritiman, Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan terutama soal pemberantasan praktik penangkapan ikan dengan cara Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing IUUF yang semakin mengkhawatirkan. Praktik IUUF sangat menghambat pembangunan perikanan baik secara nasional maupun internasional. Dampak praktik IUUF telah mengakibatkan terganggunya pengelolaan pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi banyak negara berkembang. Pontjo mengingatkan bahwa harus disadari sektor kelautan dan kemaritiman mempunyai daya saing tinggi sehingga butuh intervensi teknologi. Cina, menurut data World’s Top Exports 2020 berhasil menjadi negara eksportir terbesar ikan laut dunia, karena memanfaatkan pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi Iptek merupakan hal yang mendasar dan mendesak dalam pengelolaan sumber daya kelautan/kemaritiman yang berkesinambungan. Tanpa penguasaan teknologi, mustahil Indonesia akan mampu membangun kemandirian dan meningkatkan daya saing dalam mengembangkan ekonomi kelautan. Dewasa ini, pengetahuan dan teknologi sudah menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam pertumbuhan dan kemandirian ekonomi. Kekuatan suatu bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing. Karenanya, kita harus terus berupaya meningkatkan kapasitas Iptek bangsa ini yang memang masih jauh ketinggalan. Dalam mengejar ketertinggalan teknologi, termasuk dalam pengembangan sektor kelautan dan kemaritiman, sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, industri/dunia usaha, dan masyarakat sangatlah penting. Dalam kolaborasi kelembagaan ini, jelas Pontjo, dunia usaha/industri berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi. Peran strategis inilah yang harus selalu disadari dan diperhatikan oleh dunia usaha kita. Tanpa peran dunia usaha, inovasi teknologi tidak mungkin akan berkembang. Oleh karena itu, pengusahanya harus siap, baik dalam jumlah maupun dalam kualitasnya. “Namun sayangnya, jumlah pengusaha di sektor kelautan/kemaritiman masih sangat kecil. Jumlah seluruh pengusaha di Indonesia saat ini baru sekitar 3% dari jumlah penduduk. Jumlah ini masih sangat kecil jika dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara maju,” tegas Pontjo. Inilah tantangan besar dunia usaha kita dewasa ini yang harus dijawab. Mengapa bangsa ini terutama pengusahanya seakan-akan enggan untuk turun ke laut, padahal di masa lalu, bangsa Indonesia pernah mengalami kejayaan bahari yang mencapai puncaknya pada jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Semangat bahari bangsa Indonesia diakui Pontjo semakin melemah, bahkan seakan-akan telah kehilangan jatidirinya sebagai bangsa maritim. Penyebabnya antara lain pertama upaya sistematis kolonial kala itu yang telah mengubah cara pandang bangsa Indonesia dari bangsa bahari menjadi bangsa yang enggan turun ke laut. Jangan-jangan upaya sistematis seperti ini masih berlangsung sampai saat ini yang dilakukan oleh kekuatan eksternal baik oleh entitas negara maupun non-negara. Kedua adanya pergeseran orientasi dari laut ke daratan dalam waktu sangat lama sehingga kita kehilangan jati diri sebagai bangsa bahari Dan ketiga, sektor pendidikan belum mendapatkan perhatian yang maksimal sebagai wahana sosialisasi pembangunan kelautan/kemaritiman. “Agar kita mampu menjadikan laut sebagai masa depan bangsa dan memajukan ekonomi kelautan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, menurut hemat saya, selain menempatkan teknologi sebagai faktor determinan, ada hal penting lainnya yang juga harus dilakukan yaitu menghidupkan kembali visi dan semangat bahari bangsa ini,” tutup Pontjo. FGD yang digelar kerjasama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahun Indonesia AIPI, dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia HIPMI, dan Media Kompas tersebut menghadirkan narasumber antara lain Prof Ir I Ketut Aria Pria Utama, Pakar Ilmu Perkapalan ITS, AIPI, Prof Dr Ir. Indra Jaya, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Amiril Mukminin, BPP HIPMI, Dr Ir Arifin Rudiyanto, Deputi bidang Kemaritiman dan SDA Bappenas, Dedi Supriadi Adhuri, dan Antropolog Maritim. */fsLiputan6com, Tanah Bumbu - Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi selalu menyampaikan bahwa selama ini kita telah memunggungi lautan. Kondisi ini dinilai tidak sesuai dengan fakta bahwa Indonesia sebenarnya sangat tergantung pada hasil laut. "Padahal, kekayaan kita ada di laut, sumber daya alam kita ada di laut," kata Presiden saat memberikan sambutan pada Puncak Budaya
Jakarta, - Pengelolaan sumber daya alam Indonesia di wilayah pesisir dan laut merupakan hal penting dan berarti bagi masyarakat, bangsa dan negara. Besarnya wilayah lautan di Indonesia yang mencapai 70 persen, dapat dimanfaatkan. Salah satunya, untuk segi pangan. Baca Juga KKP Didorong Fokus Budi Daya Lobster Domestik Namun, pemanfaatan sumber daya kelautan Indonesia hingga saat ini oleh banyak kalangan dianggap belum optimal. Beberapa isu yang dihadapi diantaranya angka GPD yang rendah, atau sekitar 30 persen dari sumbangan hasil laut. Selain itu, adanya tumpang tindih kepentingan kementerian, instansi dan lembaga dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan yang menyebabkan kurang harmonisnya implementasi kebijakan. Persoalan lainnya adalah konektivitas, dimana rantai pasok dan daya saing untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia terbentur salah satunya berupa mahalnya ongkos laut dari Indonesia bagian timur ke bagian barat. Selain itu, kebijakan pembangunan desa pesisir belum berkorelasi dengan arahan kebijakan pembangunan, baik RTRW maupun RZWP3K. Hal ini menjadi suatu kendala pembangunan desa pesisir yang berbasis potensi biota laut. Paralel dengan hal tersebut, pandemi virus corona Covid-19 selama beberapa bulan belakangan telah memukul perekonomian Indonesia secara umum. Hampir seluruh sektor luluh lantak dibuatnya dan berdampak langsung pada perekonomian nasional. Oleh karena itu, di tengah situasi pendemik saat ini, diperlukan skenario untuk pengoptimalan pemanfaatan sumber daya laut dalam rangka mencapai Indonesia maju, sejahtera dan berdaulat. Hal ini mengemuka dalam webinar bertajuk "Pengembangan Industri Pangan Laut Terpadu DI Kawasan Pesisir Pasca-Covid-19 yang diikuti lebih dari 700 peserta, Rabu 15/7/2020. Baca Juga Kebijakan Negara Belum Memihak Pangan Lokal di Pulau Kecil Acara ini digelar Perluni PWK ITI Perhimpunan Alumni Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Indonesia bekerja sama dengan Program Studi PWK - ITI dan Ikatan Ahli Perencanaan IAP Provinsi Banten. Hadir sebagai narasumber dalam webinar ini adalah Ahmad Aris dari Direktorat Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP, ahli kelautan Rokhmin Dahuri, pemerhati transportasi laut dan logistik maritim Harry Boediarto dan Bupati Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur NTT Fransiskus Roberto Diogo. Hadir pula sebagai pembahas, perwakilan LSM Juang Laut Lestari Lombok Nusa Tenggara Barat NTB Juanita Mandagi, praktisi pembudidaya teripang Sahid SP, dan pemerhati pengembangan kawasan laut dan pesisir Freude TP Hutahaean. Wakil Rektor Institut Teknologi Indonesia ITI, Dwita Suastiyanti, mengungkapkan, perencana wilayah kota sudah seharusnya mengambil peran penting dalam mengatasi persoalan terkait perencanaan ruang baik di wilayah darat maupun laut. Baca Juga KKP Jaga Pasar Ekspor Perikanan di AS dan Eropa "Melalui diskusi ini harus lahir sejumlah poin yang dapat menjadi solusi cerdas dalam pengoptimalan pemanfaatan sumber daya laut pasca-Covid-19,” kata Dwita. Deputi I Bidang Infrastruktur, Energi dan Investasi Kantor Staf Presiden KSP, Febry Calvin Tetelepta yang menjadi keynote speech dalam webinar ini menyatakan, optimalisasi pemanfaatan sumber daya laut ini sejalan dengan Nawacita ketiga, yaitu membangun dan mengintegrasikan proses bisnis kelautan dan perikanan berbasis masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan. "Revitalisasi tambak rakyat harus menjadi optimal dan berkelanjutan karena perikanan budidaya merupakan masa depan. Untuk mewujudkannya diperlukan sebuah kerja kolaboratif antar kementerian dan lembaga serta turut melibatkan pemerintah daerah," kata Febry. Ahmad Aris menegaskan, perencanaan spasial, tata ruang laut dan zonasi laut seharusnya mengawali arah penggunaan ruang dan pemanfaatan sumber daya. Baca Juga Penyebab Pemanfaatan Lahan Budidaya Ikan Belum Maksimal "Selain itu, KKP telah membangun program sentra keluatan dan perikanan terpadu di 13 lokasi di Indonesia Natuna, Saumlaki, Merauke, Mentawai, Nunukan, Talaud, Morotai, Biak Numfor, Mimika, Rote Ndao, Sumba Timur, Sabang, Moa yang dapat dijadikan contoh,” jelasnya. Sementara, Rokhmin Dahuri menegaskan, disparitas pembangunan wilayah masih jomplang di Indonesia. Seharusnya dalam pembangunan kelautan 60 persen fokusnya diletakkan di sektor ekonomi karena tingginya penganguran, terutama pasca-Covid19. Harry Boediarto menambahkan, penataan ruang perairan harus mulai dilakukan. Harry mengajak seluruh pihak lewat ujaran Ayo kita semua ke laut’ termasuk mulai mengarahkan investasi ke sektor laut. "Perlu juga adanya wilayah yang menjadi pilot project, dimana teknologi maju perikanan diterapkan, dengan model bisnis kelautan yang berkelanjutan,” tandasnya. Fransiskus Roberto Diogo mengaku optimistis atas pemanfaatan sumberdaya laut terutama di Kabupaten Sikka. "Tidak usah pesimis dengan pandemi Covid-19, yang dibutuhkan adalah politik anggaran dan kemitraan yang baik untuk pengembangan sumberdaya laut. Perlu kebijakan yang lebih masif dan berani dengan melibatkan semua pihak,” kata Fransiskus. Baca Juga Birokrasi Ekspor Benih Lobster Jangan Rugikan Nelayan Sementara itu, Juanita Mandagi, menegaskan, penataan ruang haruslah sinergis dan saling mengisi. "Kita harus beranjak dari tingkatan paling bawah. Desa menjadi ujung tombak untuk indutri pangan laut terpadu supaya masyarakat dapat menikmati,” kata Juanita. Mendukung hal ini, Freude TP Hutahaean menyatakan, saat ini belum ada kawasan di Indonesia yang mengembangkan potensi kelautan secara profesional. "Indonesia belum mengelola bahan baku secara maksimal. Hanya berperan sebagai eksportir yang kemudian masuk ke negara Eropa, Tiongkok, dan lain-lain,” pungkasnya. Sumber Saksikan live streaming program-program BTV di sini
KUALAPEMBUANG-Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Seruyan meminta agar sektor perikanan laut yang ada di Bumi Gawi Hatantiring bisa dikembangkan lebih maksimal. Menurut mereka potensi perikanan laut Seruyan sangat tinggi dan masih layak untuk dikembangkan. "Banyak hal yang menjadi penyebab, salah satunya belum adanya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur pemanfaatan kelautan di Seruyan